Papua adalah nama sebuah pulau yang terletak di ujung timur Indonesia. Papua dulu disebut dengan nama Irian Barat, yang mana Irian merupakan sebuah akronim dari Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland.
Penggantian nama Papua ditetapkan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa Melayu yang artinya “rambut keriting”, sesuai dengan gambaran fisik masyarakat di suku-suku Papua.
Mengutip dalam buku Ayo Mengenal Indonesia: Papua 1 yang disusun oleh Widyawati, secara astronomis, Papua berada di antara 01-10.45 Lintang Selatan (LS) dan 139.30-141.10 Bujur Timur (BT). Letak geografisnya adalah sebagai berikut.
- Barat: laut Seram dan laut Arapura
- Timur: Papua Nugini
- Utara: Samudra Pasifik
- Selatan: laut Arafura
Tanah Papua dikenal memiliki keragaman, baik dari segi budaya maupun alamnya. Masyarakat Papua masih kental akan tradisi, serta adat istiadat yang ada di dalam kehidupan sebuah suku di Papua.
Suku-Suku di Pulau Papua
Suku-suku di pulau Papua sendiri tersebar luas di setiap wilayahnya. Berikut adalah beberapa suku di Papua, yang dikutip dalam buku Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
1. Suku Amungme
Suku bangsa Amungme disebut dengan Amui atau Hamung. Masyarakat suku Amungme tinggal di wilayah Pegunungan Jayawijaya. Jumlah populasi masyarakat suku ini berkisar 3.500 jiwa.
Bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari suku Amungme adalah bahasa Uhunduni, yang terbagi menjadi beberapa dialek, di antaranya Amung, Damal, dan Enggipilu.
Masyarakat Amungme hidup berkelompok dan mendirikan rumahnya di atas tiang-tiang kayu, dengan atap alang-alang atau daun rumbia (sagu). Setiap kelompok terdiri atas 5-10 rumah tangga.
Pakaian asli kaum wanita dari suku Amungme adalah rok atau cawat, yang terbuat dari serat kulit kayu. Sementara itu, kaum laki-laki memakai koteka, yang merupakan pakaian khusus dari kulit buah labu yang telah dikeringkan.
2. Suku Asmat
Suku Asmat banyak mendiami Papua di bagian selatan, yaitu di sekitar sungai-sungai besar, seperti Aswets, Pomats, Undir, dan Bets. Suku Asmat terasing dari dunia luar karena berada di wilayah yang sulit untuk terjangkau.
Bahan makanan suku Asmat banyak didapatkan dari pohon sagu yang tumbuh liar, serta hewan-hewan hasil perburuan untuk mendapatkan protein hewaninya, seperti babi hutan, berbagai macam burung, dan berbagai macam ikan.
Wilayahnya yang terletak dekat sungai besar membuat masyarakat suku Asmat mendirikan pemukiman rumahnya di pinggir sungai. Ini karena sungai adalah sarana transportasi bagi para warganya.
Setiap rumah di satu kampung suku Asmat ditandai dengan ye, je, dan yeu. Ye merupakan rumah yang dihuni oleh para bujang atau laki-laki masyarakat Asmat, sedangkan je adalah rumah yang ditempati oleh kaum perempuan dan anak.
Sementara itu, rumah yeu merupakan pusat kegiatan sosial religius masyarakat Asmat. Hal ini disebabkan rumah yeu menjadi tempat berkumpulnya masyarakat Asmat ketika ada yang perlu dimusyawarahkan, serta merayakan jika ada kegiatan religius.
3. Dani (Ndani)
Masyarakat suku Dani hidup di pedalaman Papua, tepatnya di dataran tinggi Pegunungan Jayawijaya bagian tengah. Pemukiman masyarakat suku ini umumnya berada di sekitar hulu sungai besar, seperti sungai Memberamo.
Asal-usul suku ini masih belum diketahui secara pasti, tapi banyak yang berasumsi bahwa masyarakat suku Dani adalah bukti dari adanya gelombang awal perpindahan manusia dari daratan Asia, pada ribuan tahun yang lalu.
Bahasa yang digunakan oleh suku Dani mirip dengan rumpun bahasa Melanesia dan Pasifik Barat, serta terbagi menjadi dua dialek, yaitu dialek Dani Barat (bahasa Lanny) dan dialek Dani Lembah Besar (Dani Baliem).
Pakaian asli suku Dani sangat minim. Laki-laki hanya perlu menutupi kemaluannya dengan kulit labu air yang sudah kering. Sementara itu, wanitanya hanya memakai rok dari untaian serat rumput.