Batak
Batak (pada zaman dahulu kala) mempercayai adanya penciptaan langit, bumi dan segala isinya. Pencipta tersebut tentu adalah sebuah karya, yang dimana masyarakat Bangsa Batak mempercayai bahwa adalah Debata Mulajadi Nabolon sang pencipta tersebut.
PenciptaanNya tak beda jauh dengan penciptaan seperti dapat kita temui dalam kitab suci agama Kristen yaitu Alkitab, tepatnya kita dapat temui dalam kitab Kejadian.
Tetapi khusus untuk penciptaan manusia, sangatlah jauh berbeda. Menurut legenda Batak, manusia bermula setelah perkawinan antara si Boru Deak Parujar (salah satu dari 6 anak perempuan Bataraguru ) dengan Raja Odapodap, mereka dijodohkan oleh Debata Mulajadi Nabolon sewaktu mereka masih berdiam di Banua Ginjang/Surga (langit papituhon ).
Karena itulah dahulu ada umpama Batak :
"Timus gabe ombun, ombun jumadi udan, mula ni tano dohot jolma ima sian si Boru Deak Parujar".
Dalam kepercayaan Batak, langit terdiri dari 7 lapis yaitu :
- Langit Pertama, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya selalu melakukan hal-hal yang terbalik dari aturan ( suhar pambaenan ).
- Langit Kedua, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya selalu mencuri, merampok.
- Langit Ketiga, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya selalu panjang lidah, suka membicarakan orang lain ( siganjang dila ).
- Langit Keempat, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya memfitnah, lintah darat. Di sini juga tempat hukuman roh orang yang bunuh diri.
- Langit Kelima, adalah tempat roh orang yang semasa hidupnya suka menolong orang yang tidak punya ( dermawan ).
- Langit Keenam, adalah tempat pertimbangan/ putusan Bataraguru terhadap manusia yang akan lahir. Menurut leluhur Batak, manusia yang mau lahir ke dunia akan meminta dan bertanya lebih dahulu kepada Bataraguru bagaimana hidupnya nanti setelah lahir.( Dolok Martimbang hatubuan ni horahora, Debata na di ginjang suhat-suhat ni hita jolma ).
- Langit Ketujuh, adalah tempat roh orang yang semasa hidupnya baik, suci/percaya, tempat Mulajadi Nabolon, dan inilah surga.
Setelah perkawinan si Boru Deak Parujar dengan Raja Odap-Odap, lahirlah anaknya kembar dampit ( marporhas ). Laki-laki dinamai Raja Ihat Manisia dan yang perempuan dinamai Boru Itam Manisia. Mereka bertempat tinggal di Sianjur Mula-Mula.
Pada saat penghuni langit ( Banua Ginjang ) datang mengunjungi mereka, Si Boru Deak Parujar dan Raja Odapodap ikut naik ke langit (Banua Ginjang ), tetapi Debata Asiasi dan si Boru Naraja Inggotpaung tinggal bersama Raja Ihat Manisia dan si Boru Itam Manisia di Sianjur Mula-Mula.
Setelah besar, Raja Ihat Manisia kawin, tetapi tidak jelas siapa dan darimana istrinya, apakah kembarannya atau anaknya si Boru Naraja Inggotpaung, yang jelas mereka mempunyai anak 3 orang yaitu : Raja Miok-miok, Patundal Nabegu dan Aji Lampas- Lampas.
Karena perebutan harta dan selisih paham, ketiga bersaudara itu bertengkar, akhirnya si Patundal Nabegu dan Aji Lampas-Lampas meninggalkan Sianjur Mula-Mula, tidak diketahui kemana perginya.
Inilah permulaan Sejarah Batak yang merupakan keturunan dari Raja Ihat Manisia.
Kalau Raja Ihat Manisia sebagai manusia pertama dalam sejarah dan legenda Batak, lantas bagaimana hubungannya dengan si Raja Batak ?
Menurut Legenda (mungkin juga Sejarah ) antara Raja Ihat Manisia dengan si RAJA BATAK terdapat 5 generasi. Jelasnya anak Raja Ihat Manisia seperti diterangkan pada bagian Pertama ada 3 orang, yaitu Raja Miok-miok, Patundal Nabegu dan Aji Lampas-lampas (sebagian mengatakan Aji Lapaslapas).
Setelah perpisahan ketiga bersudara itu kawin (tidak diketahui dengan siapa ) dan mempunyai anak Engbanua. Anak Engbanua ada 3 orang yaitu : Raja Ujung, Eng Domia (Raja Bonang-bonang) dan Raja Jau.
Konon, Raja Ujung adalah leluhur orang Aceh, Raja Jau adalah leluhur orang Nias, sedangkan Eng Domia adalah leluhur orang Batak, artinya menurut legenda ini maka orang Aceh adalah saudara tua (abang ) orang Batak dan orang Nias adalah adik orang Batak, tetapi ada juga pendapat bahwa leluhur orang Nias adalah Raja Isumbaon (anaknya si Raja Batak ).
Raja Bonangbonang mempunyai seorang anak yang dinamai Raja Tantan Debata. Dari perkawinan Raja Tantan Debata lahirlah si Raja Batak.
Si Raja Batak kawin dengan putri dari Siam, sebagian mengatakan kawin dengan manusia jadi-jadian, tetapi kalau kita berpijak pada sejarah ada benarnya bahwa istri si Raja Batak berasal dari Siam (Benua Asia Kecil ). Anak si Raja Batak ada 2 orang, yaitu Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulansering juga disebut dengan Ilontungan alias si Mangarata, alias Toga Datu.
Semasa remaja, Guru Tatea Bulan mendapat warisan benda-benda pusaka pemberian “tulangnya” dari Siam yaitu berupa : tombak siringis, batu martaha dan cincin yang cocok pada semua jari tangannya.
Guru Tatea Bulan kawin dengan Sibaso Burning , yang menurut versi keturunan Borbor Marsada adalah anak gadis manusia primitif yang sudah ada di daerah Sumatera, tetapi sebagian versi mengatakan bahwa Sibaso Burning adalah putri jadi-jadian (boru ni homang).
Karena kemampuan dan kesaktiannya, Guru Tatea Bulandapat mengajari istrinya menjadi orang beradab. Dari perkawinannya mereka mempunyai 5 orang anak laki-laki dan 5 orang anak perempuan. Mereka adalah : Raja Biakbiak (Raja Miokmiok), Tuan Saribu Raja (Ompu Tuan Rajadoli), Limbong Mulana, Sagala Raja dan SiLau Raja , sedangkan putrinya adalah : Si Boru Biding Laut (diyakini Nyi Roro Kidul) , Si Boru Pareme, Siboru Anting Haomasan dan Siboru Sinta/Sanggul Haomasan , sedangkan seorang lagi yaitu Nantinjo konon adalah Waria (Banci ) pertama dalam Legenda dan Sejarah Batak.
Menurut cerita, Tuan Saribu Raja dan Si Boru Pareme lahir kembar dampit (marporhas). Raja Isumbaon adalah manusia misterius, tidak ada yang tau cerita dan keberadaannya, tetapi kemudian disebutkan dari perkawinannya lahir 3 orang anaknya yaitu : Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkar Somalidang.
Dari cerita di atas jelas terlihat bahwa marga pertama dalam Silsilah/Tarombo orang Batak adalah marga Limbong dan marga Sagala.
Pertanyaan akan selalu muncul mengikuti logika, Raja Batak mempunyai 2 orang anak, tidak disebutkan mempunyai anak perempuan, pertanyaan yang paling lumrah adalah : Anak Perempuan siapa yang menjadi isteri mereka, kalau memang manusia juga, berarti pada masa itu sudah ada manusia lain selain keluarga si Raja Batak.
Seperti di sebutkan pada Episode II, isteri Guru Tatea Bulanada yang mengatakan dari kelompok orang primitif yang sudah ada di sekitar Danau Toba, dan pendapat lain mengatakan keturunan makhluk jadi-jadian (boru ni homang ).
Pertanyaan seperti itu juga muncul pada masa kekinian setelah orang Batak mengenal agama monotheis ( Kristen dan Islam ), pada zaman penciptaan manusia Adam dan Hawa yang mempunyai anak Kain, Habel dan Set. ( baca Kejadian: 4 dan 5 ), lantas siapa dan anak siapa istri Kain dan Set? Ok, hal itu tidak perlu diperdebatkan karena sudah menyangkut masalah keimanan seseorang.
Guru Tatea Bulandan Raja Isumbaon setelah berkeluarga, meminta hak kepada ayahandanya si Raja Batak, tetapi pada masa itu belum banyak harta benda yang bisa diserahkan si Raja Batak kepada kedua anaknya, dan memang juga bukan harta benda yang mereka minta, tetapi ‘sangap’ dan ‘kesaktian’.
“Berikanlah kepada kami yang belum pernah kami lihat dan yang belum pernah kami ketahui”,
kira-kira demikianlah permintaan Guru Tatea Bulandan Raja Isumbaon. Si Raja Batak walaupun punya kesaktian, tetapi dia tidak bisa memberikan apa yang diminta anaknya, karena itu dia meminta kepada kedua anaknya agar bersabar dan sama-sama memohon (martonggo) kepada Mulajadi Nabolon Debata Natolu agar diberikan “ sahala tua sahala harajaon “.
Debata Natolu Mulajadi Nabolon mengabulkan permintaan doa mereka, maka dikirimkanlah 2 (dua) buah gulungan surat Batak. Pada gulungan pertama tulisan arang ( tombaga agong ) yang menjadi bagian Guru Tatea Bulan berisi tentang ilmu: Perdukunan/Pengobatan, Kesaktian, Seni pahat , Kekuatan, juga ilmu beladiri (parmonsahon) dan ilmu menghilang (pangaliluon).
Pada gulungan kedua surat tombaga holing berisi tentang ilmu : Pemerintahan, hukum, bercocok tanam dan dagang.
(Tentang Surat Batak ini sedikit ada kontroversi, apakah memang sudah ada pada saat si Raja Batak atau beberapa generasi berikutnya, dan apakah diturunkan oleh Debata Natolu Mulajadi Nabolon kepada si Raja Batak atau diciptakan oleh manusia. Hal ini masih menjadi simpang siur).
Salah seorang keturunan Guru Tatea Bulan adalah Raja Biak-biak (Raja Miokmiok), kelahirannya disertai guruh, hujan lebat dan angin puting beliung, namun setelah lahir alangkah kaget dan kecewanya si Guru Tatea Bulan dan istrinya si boru Baso Burning, karena yang lahir tidak sempurna sebagai manusia, tidak punya kaki dan tangan.
Dia tidak bisa duduk, hanya bisa berguling-guling, karena itu Raja Biak-biak dinamai juga Raja Gumeleng-geleng (guling-guling).
Pada suatu waktu, Mulajadi Nabolon Debata Natolu turun ke bumi (Sianjur Mula-Mula) dan mencobai iman (haporsean) Guru Tatea Bulan. Mulajadi Nabolon meminta agar Guru Tatea Bulan menyerahkan anaknya Saribu Raja untuk dipotong dan dipersembahkan.
Guru Tatea Bulan mengatakan,
Datangnya dari Tuhan (Mulajadi Nabolon Debata Natolu ), kalau Mulajadi Nabolon meminta, saya tidak berhak menolak.
Mendengar itu Raja Biak-biak berpikir bahwa dialah yang akan dipotong/dibunuh, dibandingkan Saribu Raja yang sempurna, dia tidak ada harganya, maka dengan tergesa-gesa dia meminta kepada ibunya agar menyuruh ayahandanya menyembunyikan dia. Guru Tatea Bulan pun menyembunyikan dia di Gunung/Dolok Pusuk Buhit.
Saribu Raja jadi dipotong dan dipersembahkan, tetapi karena Guru Tatea Bulan ikhlas dan Saribu Raja tidak menolak menjadi korban persembahan, Mulajadi Nabolon menghidupkan dia kembali serta memberikan berkat (pasu-pasu).
Mulajadi Nabolon datang dan pergi selalu dari puncak Dolok Pusuk Buhit, maka ketika dia mau kembali ke Banua Ginjang melalui Dolok Pusuk Buhit, dia melihat Raja Biak-biak ada di situ. Raja Biak-biak memohon kepada Mulajadi Nabolon agar disempurnakan, Mulajadi Nabolon pun mengabulkan permohonan Raja Biak-biak, diberi tangan, kaki, bahkan diberi sayap, ekor dan mulutnya seperti (maaf) moncong babi. Pada saat itu Mulajadi Nabolon berkata :
Walau bentuk tubuhmu tidak sempurna seperti manusia biasa, tetapi kamu punya keistimewaan, tidak akan pernah tua, tidak akan mati dan kamu akan menjadi perantara manusia yang akan memberikan persembahan kepadaku, kuberi kamu gelar Raja Hatorusan atau juga Raja Uti .
Dengan kemampuannya Raja Biak-biak/Raja Miok-miok/Raja Gumeleng-geleng/ Raja Hatorusan/ Raja Uti dapat pergi kemanapun sesuka hatinya, namun pada awalnya dia pulang ke Sianjur Mula-Mula, kemudian ke Aceh dan ke bagian selatan Tapanuli ( Barus ).
Telah disebutkan di atas bahwa Tuan Saribu Raja lahir kembar dampit dengan Si Boru Pareme, di kemudian hari rasa cinta tumbuh diantara keduanya dan mereka pun melakukan perkawinan incest (sedarah terlarang), inilah mungkin salah satu peringatan bagi masyarakat Batak sekarang apabila mempunyai anak yang lahir kembar dampit selalu dipisahkan pengasuhannya agar tidak terjadi sebagaimana antara Tuan Saribu Raja dengan Si Boru Pareme.
Dari perkawinan antara Tuan Saribu Raja dengan Si Boru Pareme, lahirlah serang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Si Raja Lontung . Si Raja Lontung lahir di tengah hutan rimba yang belum pernah didatangi manusia, karena Si Boru Pareme dibuang oleh saudaranya karena malu dengan perbutannya.
Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Si Raja Lontung adalah keturunan Si Boru Pareme dengan Babiat Sitelpang yang selalu datang membawa makanan kepada Si Boru Pareme, karena Si Boru Pareme menolong mengambilkan tulang yang tersangkut di mulut harimau itu. Kalau pendapat ini benar, timbul pertanyaan :
Mengapa dan apa penyebab Si Boru Pareme berada di tengah-tengah hutan belantara ?
Karena tidak mempunyai alasan yang kuat, maka pendapat lebih cenderung mengatakan bahwa Si Boru Pareme memang dibuang oleh saudaranya ke hutan belantara ( tombak longo-longo, harangan rimbun rea parhais-haisan ni babiat paranggun-anggunan ni homang) karena telah diketahui saudara-saudaranya telah melakukan perbuatan terlarang, dan di hutan bertemu dengan Babiat Sitelpang seekor Harimau dimana ketika itu Si Boru Pareme menolong Harimau mengambilkang tulang yang tersangkut di mulut harimau itu dan mulai saat itu Babiat Sitelpang turut dalam menjaga Si Boru Pareme hingga lahirnya Raja Lontung sampai besar. Sedangkan si Saribu Raja menurut cerita pergi setelah adik bungsunya Lau Raja memberitahukan kepada abangnya Saribu Raja kalau abangnya Limbong Mulana dan Sagala Raja berniat membunuhnya karena telah melakukan hal yang dianggap tidak pantas.
Tuan Saribu Raja adalah orang yang tidak betah berdiam diri di suatu tempat, dia selalu berkelana dari satu daerah ke daerah lain, dan di daerah baru itu beberapa kali dia kawin lagi.
Adalah Nai Mangiring Laut , salah satu istrinya, dikatakan adalah manusia peliharaan lelembu (homang), dari perkawinannya dengan Nai Mangiring Laut lahirlah Si Raja Borbor.
Setelah anaknya lahir Tuan Saribu Raja membawa mereka ke suatu tempat di luar Sianjur Mula-Mula, tempat itu sekarang dikenal dengan Parik Sabungan.
Sampai saat ini masih ada kontroversi diantara keturunan Tuan Saribu Raja, siapa yang lebih dahulu lahir antara Si Raja Lontung dan Si Raja Borbor. Kalau dalam sejarah dan Tarombo Borbor Marsada, yang lebih duluan lahir adalah Si Raja Borbor yang otomatis menjadi siabangan (sihahaan), konon menurut cerita sewaktu Nai Mangiring Laut mengandung, Si Boru Pareme datang menggoda saudaranya Tuan Saribu Raja dan terjadilah hubungan terlarang.
Di lain tempat (di daerah Barus sekarang), Tuan Saribu Raja juga mempunyai isteri yang tidak jelas diketahui asal-usulnya, sebagian mengatakan putri Tamil, sebagian lagi mengatakan keturunan harimau, dari perkawinannya lahir anaknya laki-laki yang dinamai Raja Galeman atau digelari juga dengan Sibabiat.
Dari cerita di atas jelaslah bahwa keturunan Tuan Saribu Raja ada 3 orang yaitu : Lontung, Borbor dan Sibabiat. Dari ketiga orang tersebut, dikemudian hari berkembang marga-marga yang sekarang kita kenal dengan kumpulan marga : Naimarata, Borbor Marsada dan Lontung Marsada.
Telah diterangkan di atas, Guru Tatea Bulan mempunyai 4 orang anak perempuan, selain Si Boru Pareme yang dua lagi adalah Siboru Anting Haomasan dan Siboru Sinta/Sanggul Haomasan. Kedua wanita ini kawin dengan Tuan Sorimangaraja anak dari Raja Isumbaon. Isteri Tuan Sorimangaraja sendiri ada 3 orang, yaitu Si Boru Paromas/Si Boru Anting Malela, Si Boru Anting Haomasan, dan Si Boru Sinta/Sanggul Haomasan. Sedangkan Si Boru Biding Laut diperkirakan adalah Nyi Roro Kidul Ratu Pantai Selatan.
Pada masa itu, keturunan si RAJA BATAK terbagi atas 2 kelompok, keturunan Guru Tatea Bulan disebut dengan Ilontungon sedangkan keturunan dari Raja Isumbaon disebut Sumba.
Dikemudian hari, dari 2 kelompok tadi berkembang menjadi 5 kelompok yang menjadi Induk Marga-Marga Batak yang ada sekarang, dengan catatan bahwa keturunan dari Raja Asi-asi, Sangkar Somalidang, Toga Laut dan keturunan Saribu Raja dari isteri ketiga yaitu Raja Galeman (Sibabiat) belum termasuk, karena keturunan mereka tidak jelas keberadaannya dan patut diduga ada di daerah Asahan, Langkat, Karo, Deli Serdang, Binjai dan di Aceh ( Tapak Tuan, Takengon dan Kutacane).
Salah seorang boru dari Guru Tatea Bulan ialah Nantinjo yang dikatakan sebagai Banci/Waria pertama dalam sejarah dan legenda orang Batak.
Orang mengatakan bahwa dia sebenarnya berjenis kelamin laki-laki tetapi pembawaan dan tingkah laku layaknya perempuan sebagaimana waria yang kita kenal sekarang. Guru Tatea Bulan dan saudara-saudaranya memaksa dia supaya berumah tangga, pada mulanya Nantinjo masih bisa memberi alasan, tetapi kemudian di belakang hari dia tidak bisa lagi mengelak anjuran dan paksaan abangnya.
Dia masih berusaha untuk menolak dengan meminta ‘sinamot’ sebanyak satu perahu penuh emas, dengan harapan tidak ada yang sanggup memberikannya, ternyata dia keliru. Ada saja orang yang datang melamar dia dengan ‘sinamot’ sebanyak yang dia minta, Nantinjo tidak bisa mengelak, diapun dibawa oleh “suaminya” menyeberangi danau ke tempat mertuanya.
Di perjalanan, Nantinjo berpikir bahwa sesampai di tempat mertuanya ‘dunia’ akan geger apabila masyarakat mengetahui cacatnya. Maka dengan putus asa, dia berdoa (martonggo) ke Boru Saniangnaga dan Mulajadi Nabolon Debata Natolu :
O ale ompung Mulajadi Nabolon, Debata Natolu na di Banua Ginjang dohot ho Boru Saniangnaga pangisi ni Banua Toru, ompuompu ni hunik nama au tinuhor sian onan, dang bulung ni dulang dang bulung ni rias, ompu ni hinalungun soada tudosan, napaila damang molo tarboto tihas, tagonanma langge padopado sikkoru, tumagonan ma mate daripada mangolu, buatton ma au begu luahon au sombaon ai sudena on soboi be hutaon .
Setelah berkata demikian, Nantinjo melompat ke tengah danau dan tenggelam.
Pada saat berangkat dari Sianjur Mula-Mula, dia dibekali dengan alat tenunnya yang selalu dia pakai semasa ‘gadisnya’ bersama “buluhot” (pangunggasan yang terbuat dari bambu), setelah Nantinjo tenggelam, semua peralatan itu mengapung sehingga orang yang menemukan mayat Nantinjo juga menemukan semua peralatan tenun tersebut dan membawanya ke darat.
Nantinjo dimakamkan di Malau bersama semua peralatannya, dikemudian hari dari makamnya “buluhot” tersebut tumbuh bambu besar (bulu godang) yang ada sampai saat ini di Tiga Malau dekat Simanindo, dan tempat tersebut sampai sekarang dianggap sebagai tempat keramat.
Telah diterangkan di atas bahwa Raja Isumbaon ada 3 orang yaitu : Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkar Somalidang.
Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 orang isteri, 2 orang diantaranya adalah putri Guru Tatea Bulan yaitu Siboru Anting Haomasan dan Siboru Sinta/Sanggul Haomasan. (Kalau jaman kekinian tentunya itu terlarang, karena dia mengambil isteri dari putri Bapatuanya, tetapi pada masa itu karena memang penduduk disekitar danau Toba masih sangat jarang, hal tersebut adalah lumrah).
Masih menjadi kontroversi karena berbagai versi dimana versi umum dikatakan istri Tuan Sorimangaraja adalah 3, si Anting Homasan yang dikenal si Boru Paromas (Naiambaton), si Boru Biding Laut (Nairasaon), dan Si Boru Sanggul Haomasan (Naisuanon), dimana tidak diketahui asal usul Si Boru Sanggul Haomasan, namun menurut sumber ini dikatakan boru Guru Tatea Bulan hanya 4 sesungguhnya adalah 5 dimana siakkangan adalah si Boru Biding Laut, dan Si Boru Sanggul Haomasan adalah boru ni Guru Tatea Bulan, sedangkan si Boru Paromas/si Boru Anting Malela tidaklah sama dengan Si Boru Anting Haomasan boru ni Guru Tatea Bulan melainkan si Boru Anting Malela/si Boru Paromas ini bukanlah boru dari Guru Tatea Bulan namun dari pihak lain yang belum diketahui informasinya (informasi ini bisa kita lihat dari tarombo ni Borbor atau lagu tarombo ni Borbor).
Dari isteri pertama Tuan Sorimangaraja dia mempunyai anak yang dinamai Tuan Sorba Dijulu (Nai Ambaton) dan dari dari isteri kedua juga seorang, Tuan Sorba Dijae (Nai Rasaon), dari isteri ketiga Tuan Sorimangaraja mempunyai anak dan diberi nama Tuan Sorba Dibanua (Nai Suanon).
Ketiga isterinya dengan panggilan nama anaknya lebih terkenal daripada Tuan Sorimangaraja sendiri, hal ini terjadi karena Tuan Sorimangaraja adalah orang tidak betah berdiam diri, dia berkelana dari satu daerah ke daerah lain sambil memberikan pengobatan kepada orang-orang yang memerlukan kepintarannya.
Isteri ke 3 Tuan Sorimangaraja yaitu Si Boru Sanggul Haomasan lebih duluan melahirkan daripada isteri ke 2 (Si Boru Anting Haomasan), karena itu Si Boru Anting Haomasan selalu bermuram durja dan selalu “mangandung”.
Dalam “andungnya” sering sekali keluar kata-kata penyesalan, kata-kata putus asa, karena pada masa itu seorang wanita yang sudah kawin belum dianggap sebagai perempuan apabila belum melahirkan keturunan untuk menyambung tali kehidupannya. Kendati sudah lama kawin, Mulajadi Nabolon Debata Natolu belum memberikan Si Boru Anting Haomasan keturunan untuk membuktikan dia sebagai perempuan yang sempurna.
Tentunya sekarang pikiran seperti itu sudah bukan zamannya lagi, tidak mempunyai keturunan tidak semata-mata karena kekurangan isteri, bisa juga si suami, kendati demikian masih ada juga orang, khususnya orang Batak yang masih menganut pemikiran manusia zaman dulu, dan itu dijadikan pembenaran untuk berpoligami.
Demikianlah Si Boru Anting Haomasan, setiap hari sebelum matahari terbit, dia sudah pergi ke pinggir danau, siang hari bernaung di bawah pohon besar “beringin na mardangka tu langit”, di malam hari selalu menyendiri “songon tandiang na hapuloan”.
Tidak pernah terlihat ceria di wajah Si Boru Anting Haomasan.
Sebagaimana diceritakan bahwa Si Boru Biding Laut lama tidak diberikan keturunannya, dalam keputus-asaannya di menceburkan diri ke danau, tetapi dia tidak tenggelam.
Tubuhnya terombang-ambing di danau kian kemari, dipermainkan ombak seperti nasib yang mempermain-mainkan kehidupannya. Entah berapa lama dia terobang-ambing sampai akhirnya terdapar di daratan, begitu sadar dia memandang nanar ke kejauhan, ke arah Dolok Pusuk Buhit.
Ternyata Tuan Sorimangaraja sedang mencarinya di sekitar Sianjur Mula-Mula, karena tidak ketemu, diapun menyeberangi danau sambil “martonggo” agar Mulajadi Nabolon menyelamatkan “persinondukna” Si Boru Anting Haomasan.
Doanya terkabul, diseberang danau dia menemukan Si Boru Anting Haomasan dalam kebingungannya, dia membawa isterinya kearah “habinsaran”.
Disuatu tempat yang dirinya subur, Tuan Sorimangaraja mendirikan (mamukka) pemukiman bagi mereka. Tetapi memang dasarnya Tuan Sorimangaraja yang tidak pernah bisa berdiam diri, diapun meninggalkan perkampungan mereka, berkelana entah kemana.
Anak Tuan Sorimangaraja, si Ambaton dan si Suanon tumbuh berkembang tanpa pengasuhan ayahnya, demikian juga dengan si Rasaon yang kemudian dilahirkan dari rahim Si Boru Anting Haomasan.
Mereka tumbuh jadi pemuda yang mandiri. Karena Tuan Sorimangaraja sangat jarang bertemu dengan mereka, demikian juga dengan orang-orang yang ada di sekeliling tempat mereka tinggal, maka ketika ada yang bertanya siapa pemuda-pemuda yang gagah tersebut, maka yang lain selalu menjawab : anaknya Nai Ambaton untuk si Ambaton, anaknya Nai Suanon untuk si Suanon, anaknya Nai Rasaon untuk si Rasaon.
Bermula dari panggilan-panggilan tersebut, akhirnya orang lain lebih mengenal mereka dan keturunannya kemudian dengan sebutan Naiambaton, Nairasaon dan Naisuanon. Keturunan mereka menjadi kelompok marga-marga di kemudian hari.
Dengan demikian maka kelompok marga-marga Batak menjadi 5 induk, yaitu :
- Kelompok Lontung, untuk keturunan Si Raja Lontung anak Saribu Raja dengan Si Boru Pareme.
- Kelompok Borbor, untuk keturunan Limbong Mulana, Sagala Raja, SiLau Raja ( MaLau Raja ) dan Si Raja Borbor anak Saribu Raja dengan Nai Mangiring Laut, sekarang ini sering disebut dengan BORBOR MARSADA.
- Kelompok Naiambaton, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri pertama Si Boru Anting Malela ( Si Boru Paromas ) , sekarang ini sering disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Naiambaton).
- Kelompok Nairasaon, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri kedua Si Boru Anting Haomasan, yang adalah adik kandung si Boru Paromas.
- Kelompok Naisuanon, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri ketiga Siboru Sinta/Sanggul Haomasan.
Dari 5 kelompok marga-marga tersebutlah penyebaran marga-marga yang kita kenal sekarang ini, tetapi dengan pertanyaan : Bagaimana dengan keturunan Raja Asi-Asi dan Sangkar Somalidang ? Menurut cerita, kedua anak Raja Isumbaon tersebut pergi ke arah Dairi dan ke kaki Gunung Sibayak (Karo), dan dari keturunan merekalah marga-marga yang ada sekarang di daerah itu.
Pada cerita berikut, tidak semua marga-marga akan diterangkan, dan kebenaran dari cerita-cerita itu kembali kepada masing-masing marga, karena pada dasarnya Legenda adalah cerita rekaan (khayalan) yang bisa benar bisa tidak, tetapi paling tidak cerita tersebut pernah beredar di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu yang sangat penting menjadi pijakan dalam mengikuti cerita Legenda adalah : Tidak Lebih Dahulu Apriori/Kontra apabila cerita tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita tau atau pernah kita dengar. Penolakan terhadap legenda akan membuat kita tidak akan dapat mendalami dan memahami nilai-nilai yang tersembunyi pada cerita tersebut.
Perlu juga disepakati, bahwa penulisan cerita/legenda ini bukan untuk mengurangi keimanan seseorang dan bukan pula mengajak pembaca untuk kembali ke “hasipelebegu on“ karena nilai-nilai pada cerita/legenda Batak adalah filsafat, berbeda dengan nilai-nilai religi.
Tulisan ini telah mengalami saduran, penyuntingan dan juga penyesuaian kalimat dan kata dari tulisan referensi dibawah ini :Naburju Butar-butar blogs