Arti Somba Marhula-hula

Somba Marhula-hula

Satu kali saya menghadiri seminar adat Batak di Jakarta dan topik yang dibahas adalah Dalihan Na Tolu- Somba Marhula-hula, Elek Marboru, Manat Mardongan Tubu. Pembicaranya adalah seorang pendeta yang cukup dikenal di kalangan orang Batak.


Salah satu isu yang menarik di seminar itu adalah makna frase Somba Marhula-hula, yang ditanya salah seorang peserta. Pembicara mengatakan bahwa makna kata somba dalam frase somba marhula-hula adalah hormat.

Beberapa peserta seminar kurang puas atas jawaban pembicara. Saya juga kurang puas. Bahasa Batak memiliki kata sangap untuk makna menghormati sedangkan kata somba, tidak dapat dipungkiri bisa mengandung makna penghormatan kepada keberadaan yang lebih tinggi.

Makna kata somba yang lain adalah menyembah. Ada lagu Somba ma Debata- merupakan sikap yang ditunjukkan oleh manusia kepada Tuhan.

Makna frase somba marhula-hula bisa juga dilihat dari bagaimana orang Batak manortor (menari) pada saat gondang somba-somba dialunkan atau bisa juga makna ini dilihat dari cara orang Batak manortor ketika Hula-hula datang memberkati boru-nya.

Sikap berdoa dengan kedua tangan rapat seperti gambar patung dalam agama Buddha dengan posisi tangan tidak lebih dari bahu- itu merupakan sikap yang ditunjukkan boru. Jadi, makna kata somba marhula-hula merupakan sikap boru terhadap hula-hula sebagai bentuk lahiriah dari keyakinan.
Somba Marhula-hula

Keraguan saya terhadap penjelasan pembicara di seminar mulai sedikit terjawab setelah membaca kisah dalam buku Filsafat Batak, yang ditulis T.M. Sihombing.

Dalam bukunya, ia menulis kisah pergumulan hidup yang bernama Marlangka So Hasuhaton untuk mendapat anak.

Marlangka So Suhataon sudah berkeluarga cukup lama, tetapi ia belum dikaruniai anak. Sudah banyak usaha yang ia lakukan, tetapi usahanya belum membawa hasil. Ia tetap belum mendapat anak dari isterinya.

Marlangka So Hasuhaton tetap berusaha. Ia bertanya ke sana ke mari. Akhirnya, ia datang kepada kakeknya yang sudah sangat tua, yang umurnya hampir 100 tahun. Dulu kakeknya dukun (datu).

Karena daya ingatnya semakin surut, perkatan kakeknya sering tidak benar. Namun demikian, ia tetap meminta nasihat dari kakeknya.

Kakeknya berkata, "Pergilah ke Gunung Pusuk Buhit. Pergilah ke puncak bukit itu. Engkau akan menemukan batu besar di puncak bukit itu. Pergilah ke situ tujuh kali pada waktu yang berbeda-beda dan perhatikanlah hal-hal yang ajaib terjadi padamu," kata kakeknya.

Marlangka So Hasuhaton pun pergi ke puncak Pusuk Buhit dengan semangat. Ia bermalam di gua yang ada di kaki gunung itu. Besoknya ia berangkat ke puncak bukit.

Dengan mudah ia menemukan batu besar dekat pohon besar di puncak bukit. Ia berdoa ke dewa Debata Guru agar diberi anak.

Namun, apa yang dikatakan kakeknya tidak terjadi. Tidak ada hal yang ajaib terjadi pada hari itu. Karena belum berhasil, ia pun kembali ke gua dan tidur di kaki gunung itu.

Besoknya, ia kembali ke puncak bukit itu dan berdoa, tetapi hal yang sama tetap tidak terjadi. Ia melakukan hal yang sama sampai enam kali. Pada kali ke tujuh, ketika ia sampai di puncak gunung, ia tertidur.

Dengan cepat ia masuk ke alam roh. Di alam roh ia bertemu dengan Debata Guru. Debata Guru bertanya, "Mengapa kamu di sini?"

Marlangka So Hasuhaton menjawab, "Begini Ompung Debata. Saya memohon agar Ompung memberikan kepadaku anak karena hidupku sangat susah. Tidak ada artinya saya hidup kalau saya tidak punya anak." Begitu permintaannya.

Debata Guru pun menjawab, "Siapa yang paling susah selain engkau bila engkau tidak mempunyai anak?" "Orang tuaku, Ompung", jawab Marlangka So Hasuhaton.

"Bukan. Orang tuamu tidak akan sedih sebab orang tuamu bisa saja mencari menantu atau perempuan lain untukmu sebagai istri. Yang paling sedih adalah mertuamu. Sebab bila putrinya tidah memberikan keturunan, ia dianggap mati. Oleh sebab itu, lakukanlah sesuatu kepada mertuamu," kata Debata Guru.

Sebelum Marlangka So Hasuhaton pergi, Debata Guru berpesan agar ia tidak menceritakan pengalamannya di puncak gunung itu kepada siapapun sebelum anaknya lahir.

Marlangka So Hasuhaton pun tidak mengatakan apapun setiap ada yang bertanya kepadanya tentang pengalamannya di puncak Pusuk Buhit.

Setelah satu tahun, isteri Marlangka So Hasuhaton melahirkan. Setahun kemudian ia pun mendapat putri, dan setiap tahun ia mendapatkan anak dan ia punya 7 anak; ada putra dan putri.

Orang bertanya rahasianya. Marlangka So Hasuhaton pun membuka rahasianya. "Ini terjadi karena saya melakukan penghormatan kepada hula-hula (mertuanya) saya, " kata Marlangka So Hasuhaton.

Sejak itulah penghormatan kepada hula-hula selalu dilakukan orang Batak sampai saat ini. "Apakah itu benar atau tidak- tidak ada yang tahu pasti," begitu kata T.M Sihombing mengakhiri dongeng itu. Tak tahu apa komentar Nomensen kalau ia membaca kisah ini.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama