Jika ditinjau dari asal – usul tempat tinggal, coomans (1987) Didukung oleh Inoue (1999) menyatakan bahwa suku Dayak adalah keturunan imigran dari Propinsi Yunnan di China Selatan tepatnya di Sungai Yangtse Kiang, Sungai Mekhong dan Sungai Menan. Sebagian dari kelompok ini menyeberang ke semenanjung Malaysia sebagai batu loncatan pertama dan kemudian menyeberang ke bagian Utara Pulau Kalimantan.
Seorang Tokoh Kayan juga menjelaskan bahwa suku dayak adalah ras Indo China yang bermigrasi ke Indonesia pada abad ke -11. Namun ada beberapa peneliti mencoba membagi versi, berdasarkan sudut pandang masing – masing sebagai berikut:
Versi pertama, (Malinckrodt, 1928) mengkrafikasi Dayak berdasarkan kesamaan hokum adat: (1) Kenyah-Kayan-Bahau;(2)Ot Danum,Ngaju,Maanyan,Dusun dan Luangan; (3) Iban;(4) Murut: (5) Klemantan; (6) Punan, Basap,Ot dan Bukat.
Versi kedua, (Stihr,1959) mengkrafikasikan Dayak berdasarkan kesamaan upacara adat kematian, dan klarifikasi sama dengan versi pertama.
Versi ketiga, (Riwut,1958)mengklarifikasi suku Dayak dalam 18 group, terdiri dari 403-450 sub-ednis; (10 GROUP Ngaju terdisi dari: Ngaju, Maanyan, Luangan, Dusun; (2) group Apau Kayan; Kenyah, Kayan, Bahau; (3) group Murut terdiri dari Idaan (Dusun), Tidung, daqn Murut; (6) group Punan: Basap, Punan,At dan (7) group Ot Danum.
Versi keempat, (Kennedy, 1974) mengklarifikasi Dayak kedalam (1) Kenyah-Kayan-Banau; (2) Ngaju; (3) Land Dayak; (4) Klemantan-Murut; (5) Iban; dan (6) Punan.
Versi kelima oleh Sellato 91989) membagi Dayak berdasarkan nama-nama sungai besar dimana group tersebut bertempat tinggal yaiitu: (1) Melayu; (2) Iban;(3) Barito; (4) Bidayuh; (5) Sabah-Dusun-Kadasan; (6) Kayan-Kenyah; (7) Penan; (8) Kelabit-Lun Dayeh-Lun Bawang-Murut Bukit-Kajang, Berwan-Melanau.
Mamat
Suku Dayak Kenyah. Malinau. Kalimantan Utara
Mamat adlah upacara adat paling sacral dalam sejarah Dayak Kenyah, merupakan upacara kemenangan, kejayaan dan pemantapan keberanian pria sebagai prajurit perang serta menolak roh jahat. Upacara ini dilakukan dibawah tugu Belawing. Tugu Belawing biasanya berukir, di pucuknya dibuat patung burung enggang yang sedang mengibaskan sayapnya sebagai lambing kedamaian dan kemenangan dalam peperangan. Acra ini dilaksanakan apabila salah satu suku Kenyah menang dalam perangdan membawa beberapa kepala musuh, sehingga upacara ini juga sebagai penghormatan pada prajurit sebagai pilar pertahanan garis depan (Panyit nyipe).
Kepala musuh yang dibawa pulang selanjutnya disimpan di lamin Bio (rumah besar) yang didiami oleh raja (Paren) atau kepala suku/Kepala adat besar. Tengkorak kepala musuh ini digantungkan di serambi dengan di atas tungku api Kepala Adat dan tidak boleh diturunkan atau dipindahkan ke luar rumah Kepala Adat karena dianggap sebagai asset sehingga harus dijaga dengan baik. Karena sangat sacral, upacara adat ini penuh dengan pantangan, dan siapa yang melanggar akan mendapat bencana baik yang bersangkutan maupun bagi kelompoknya. (sumber: Uleh Ibo,Jhonson Lilit, dan Darwin; Malinau).
Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, suku Dayak merupakan keturunan imigran dari Provinsi Yunnan di Cina Selatan, tepatnya di Sungai Yangtse Kiang, Sungai Mekhong, dan Sungai Menan. Kemudian, sebagian dari kelompok tersebut menyebrang ke bagian utara Pulau Kalimantan.
Penggambaran pria suku Dayak Long Wai/Long We dengan pakaian perang lengkap di Longwai, Kutai Barat, Kalimantan Timur pada ca. 1879-1880 oleh Carl Bock ketika melakukan ekspedisi dari Kutai ke Kota Banjarmasin. |
Asal Usul
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60.000 dan 70.000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan migrasi suku Dayak Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak karena adanya pengaruh budaya, bahasa, adat bahkan DNA/genetika yang sangat kuat dari para pendatang karena adanya akumulasi. Hal ini membuat perbauran/akulturasi suatu suku sehingga membentuk budaya baru yang kemudian menjadi suku yang mandiri/melahirkan etnis tersendiri. Walau begitu, orang Dayak yang hanya memeluk Islam tetap teguh dengan Dayaknya mereka tetap lah Dayak tetapi disebut sebagai orang Senganan/Dayak Senganan (kecuali orang-orang Dayak yang berakulturasi yang akhirnya melahirkan kebudayaan/suku baru yang bukan bagian dari Dayak lagi) tetapi biar begitu asal-usul mereka ya tetaplah Dayak. Contoh saja suku Dayak yang memeluk Islam lalu membentuk budaya baru seperti Banjar dan Kutai, mereka lebih senang jika menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Orang Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam & tetap teguh dengan agama lama kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Batang Amandit, Batang Labuan Amas dan Batang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai. Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Tidak hanya itu, sebagian dari mereka juga ada bangsa Eropa.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan di antaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkuk dan guci.