Sebuah Jawaban Di Ujung Jurang

 
“Setiap orang berhak bahagia”.

Itu kata-kata yang sering aku dengar dari mulut orang-orang.
Dan aku fikir itu adalah perkataan yang benar.
Karena aku pernah merasakan kebahagiaan itu.

Dulu, aku adalah orang yang bahagia.
Aku punya keluarga yang peduli samaku, punya banyak teman yang sayang samaku, dan aku juga punya pacar yang cinta samaku.

Dan menurut aku, kelengkapan inilah yang dinamakan sebuah kebahagiaan.
Tapi, sebuah kejadian mengingatkanku dengan lagu Peterpan – Tak Ada Yang Abadi.
Karena memang tidak ada yang abadi didunia ini.
Termasuk kebahagiaan.
Selalu ada cara tersendiri dari Tuhan untuk mencabut nikmat kebahagiaan itu.
Dan aku, juga merasakannya.

Sebuah keputusan yang aku lakukan tanpa berfikir panjang, membuatku kehilangan semuanya.
Aku adalah seorang laki-laki yang bekerja sebagai seorang Karyawan disebuah Perusahaan Swasta.
Sifatku yang suka bergaul dengan teman-temanku, membuat aku jadi sering mentraktir mereka dalam setiap pertemuan.
Mulai dari mentraktir makan, minum, bahkan rokok sekalipun, aku yang traktir.
Sampai suatu hari uang itupun enggan buat masuk kedompetku lagi.
Iya, kapal perekonomianku lagi goyang saat itu.
Akupun jadi bingung, “Bagaimana bisa aku berkumpul dengan teman-temanku tanpa uang sepeserpun?”.

Sore itu, aku merenung di bawah pohon rindang yang terletak di belakang kantorku.
Aku masih berfikir, “Haruskah aku berkumpul dengan teman-temanku malam ini?”
Aku menunggu, dan terus menunggu.
Menunggu aku menjawab pertanyaanku sendiri.
Sampai Bang Sitompul, seorang yang bekerja sebagai Administrasi di perusahaan ini, datang menghampiriku.

“Kau kenapa Leo?” Tanya dia.
“Biasalah bang, masalah uang.” Jawabku dengan lesu.
Lalu dia datang menghampiriku lebih dekat, dan berbisik “Abang akan membantumu dengan cara yang tidak halal. Kau mau?”.
Aku berfikir, dan berfikir lagi.
Sampai akhirnya, untuk teman-temanku, aku berfikir untuk “mengiyakannya”.

Setelah itu, uang pun mengalir dengan indahnya ke dalam dompetku.
Akupun bisa tertawa lepas saat berkumpul dengan teman-temanku, bisa merasakan kesenangan yang luar biasa saat bertemu dengan pacarku.
Aku berhasil mempertahankan kebahagiaanku.
Sampai suatu hari, polisi datang kerumahku.

“Anda saudara Leo?” Tanya dia.
“Benar pak. Ada apa yah?” Tanyaku sedikit gugup.
“Maaf, ini ada surat perintah penahanan terhadap saudara.” Jelasnya, sambil memperlihatkan sebuah kertas kepadaku.
“Loh! Tapi salah saya apa pak?” Tanyaku benar-benar kaget.
“Nanti bisa saudara jelaskan di kantor polisi.” Jelasnya.

Sesuatu yang benar-benar menyeramkan, tapi ini bukan mimpi.
Tanganku diborgol, kedua orang tuaku menangis, ternyata ini benar-benar kenyataan.
Sesampainya dikantor polisi, aku melihat Bang Sitompul dan segenap pihak Perusahaan ada disana.
Ternyata, aku dan Bang Sitompul tertuduh atas tuduhan Penggelapan Terhadap Perusahaan.
Perasaanku benar-benar hambar, sangat hambar.
Bahkan aku sudah tidak mampu lagi membedakan antara rasa takut dan menyesal.
Semuanya berputar di hati ini, sampai akhirnya polisi menjadikan kami tersangka atas tuduhan yang di lampirkan oleh pihak perusahaan.
Benar-benar sebuah mimpi bagiku bisa tidur di balik jeruji besi ini.
Tapi inilah kenyataan yang harus kuterima.
Aku mendekam dipenjara.

Dua bulan berlalu.
Dan aku yang pada saat itu berusia 19 tahun, dipindahkan ke sebuah Lembaga Permasyarakatan Anak (LPA) untuk mengikuti persidangan.
Sementara Bang Sitompul dipindahkan ke Lembaga Permasyarakatan Dewasa (LPD), dikarenakan usianya yang sudah dewasa.
Setelah beberapa kali mengikuti persidangan, akhirnya Hakim menjatuhi hukuman terhadap kami dengan masa pidana “1 tahun dan 6 bulan”.
Aku terkejut, karena itu merupakan waktu yang lama.
Sementara ibuku yang pada saat itu hadir dipersidangan, pingsan karena mendengarkan masa pidana yang diberikan oleh Hakim itu.
Aku hanya bisa terdiam.
Kecewa terhadap diriku sendiri.
Tapi ini adalah sebuah pelajaran hidup yang harus aku pelajari.
“Apa hikmah dibalik semua ini?”.

1 tahun dan 6 bulan pun berlalu.
Senang, sedih, ketawa, menagis, semua kurasakan di LPA ini.
Dan aku bersyukur, karena ternyata aku mampu melewati masa sulit ini dengan baik.
Sesampainya dirumah, aku langsung memohon maaf kepada kedua orang tuaku.
Aku benar-benar menyesal atas apa yang telah aku perbuat.
Dan berjanji tidak akan pernah mengulanginya lagi.

Saat malam, aku berniat untuk menemui pacarku dirumahnya.
Rasanya kebahagiaan itu benar-benar kembali saat aku keluar dari LPA itu.
Tapi ternyata aku salah.
Aku malah diusir oleh pacarku.

“Lebih baik kamu pulang aja deh. Aku nggak mau pacaran sama mantan Napi! Kita putus!” Jelasnya dengan emosi yang tinggi.
“Tapi…” Aku ingin berusaha menjelaskan semuanya.
“Nggak ada pakai tapi! Pulang kamu sana!” Potongnya sambil mengusirku.

Aku berjalan meninggalkan rumahnya sambil menangis.
“Sehina inikah aku dimata orang-orang?”.
Aku terus menangis, menahan rasa sakit, sampai akhirnya aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Akhirnya aku putuskan untuk minum di sebuah Café, sambil menenangkan diri.
Saat masuk ke pintu Café, aku melihat teman-temanku lagi berkumpul disana.
Karena merasa senang, aku menghampiri mereka.
Aku duduk diantara mereka.
Tapi apa?
Sejak aku duduk disitu, satu per satu dari mereka pergi meninggalkan aku.
Dan akhirnya, hanya tinggal aku sendiri yang duduk disitu.
Sekarang, aku benar-benar merasa hina.

Selesai menghabiskan minumanku, aku putuskan untuk pulang kerumah.
Aku masuk kekamar, dan merebahkan badanku ditempat tidur.
Berharap waktu bisa berputar kembali.
Tapi kenyataannya, hidup terus berjalan maju.
Seberat apapun masalah yang aku hadapi, semua pasti ada hikmahnya.
“Tapi, apa hikmah dibalik semua ini?”.
“Apakah aku harus jadi manusia yang jujur?”.
“Apakah aku tidak boleh terlalu baik sama orang-orang yang aku sayangi?”.
“Apakah aku harus lebih mendekatkan diri kepada Tuhan?”.

Aku tidak bisa menemukan jawabannya.
Mungkin karena aku telah jatuh ke jurang yang terlalu dalam, hingga akhirnya aku tidak mampu lagi memikirkan daratan yang ada diatas sana.
Yang kufikirkan hanyalah “Mampukah aku bertahan hidup sesampainya aku diujung jurang ini?”.
Namun, tidak ada yang menjawabnya.
Karena jawabannya ada diujung jurang itu.

Profil Penulis:
Writer : Bryan Adams.

1 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama