Alkisah sepasang petani bernama Ompu Raja Natumandi mempunyai seorang putri
semata-wayang bernama Boru Natumandi yang tinggal disebuah desa bernama Banjar
Nahor - Silindung di pinggiran kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara.
Boru Natumandi memiliki paras yang cantik dan sangat disayangi oleh kedua
orangtuanya, sehingga dia tidak diperbolehkan untuk bekerja di ladang
sebagaimana dilakukan oleh teman sebayanya. Untuk menghilangkan kebosanan yang
hanya sendiri tinggal dirumah selama orangtuanya mengerjakan sawah dan
ladangnya, maka Boru Natumandi diperkenankan untuk mengerjakan pembuatan ulos
di sebuah pondokan terbuka yang tidak jauh dari rumahnya, di tepian sebuah
sungai.
Disuatu siang hari, sewaktu Boru Natumandi mengerjakan pembuatan ulos, dia
didatangi seorang pemuda tampan bernama Mangunsong yang menegurnya dengan ramah
dan sopan. Merka berkenalan dan saling bercerita sembari Boru Natumandi
mengerjakan pembuatan ulosnya. Pertemuan sering dilakukan mereka di pondok itu
untuk saling bercerita bercanda ria, namun menjelang sore sebelum kedua
orangtua Boru Natumandi pulang dari ladangnya maka pemuda Mangunsong pamitan
diri untuk pulang. Selama perkenalan mereka, Boru Natumandi pernah menanyakan
asal-muasal pemuda Mangunson, dan pemuda itu mengatakan bahwa kampungnya sangat
jauh dan ada ditepian sebuah danau. Sejenak Boru Tumandi bertanya dalam hatinya
“Kalau kampungnya sangat jauh mengapa dia dapat dating setiap hari?” demikian
pikirnya. Lalu Boru Tumandi mengungkapkan tanda tanyanya, “Berapa lama perjalanyan
ke kampungnya?” tanyanya menyelidik. Lalu pemuda itu menjawab, “Aku ada tinggal
dekat sini” jawabnya singkat. Boru Tumandi bertanya pula dalam hatinya bahwa
tidak ada kampong sekitar situ yang bermarga Mangunsang, tapi dia tidak
melanjutkan pertanyaannya.
Keakraban mereka tidak pernah diceritakan oleh Boru Natumandi dia mempunyai
seorang hubungan dengan seorang pemuda yang tampan bernama Mangunsong. Setelah
menjalin hubungan sekian lama dan mereka sudah merasa saling cocok satu sama
lain, maka di suatu hari pemuda Mangunsong mengutarakan niatnya untuk meminang
sang putri, akan tetapi sang pemuda tampan harus membawa orang tuanya untuk
meminang sang putri, sementara kampung sang pemuda sangat jauh ada di tepian
Danau Toba. Kalau pemuda Mangunsong sendiri sebenarnya dia adalah orang sakti
sehingga mampu datang setiap saat mengunjungi Boru Natumandi, akan tetapi
kesaktiannya tidaklah mungkin membawa orang lain sama cepat seperti dia.
Rahasia kesaktiannyapun tidak diberitahukannya kepada Boru Natumandi.
Karena mereka tidak mempunyai jalan keluar agar hubungan mereka dapat terjalin
sesuai kultur adat, dimana orangtua Mangunsong harus datang mengunjungi
orangtua Boru Natumandi untuk meminang, maka mereka berdua sepakat untuk kawin
lari saja. Mereka membuat janji dengan menentukan hari kapan mereka akan kawin
lari.
Tiba waktu yang ditentukan, dan sama seperti biasanya bahwa Boru Natumandi
berangkat ke pondokannya sambil menbawa segumpal padi. Sebagaimana biasa pemuda
Mangunsong tiba di pondok, lalu mereka mulai melaksanakan niatnya. Sebelum
melangkahkan kakinya, Boru Natumandi mengambil padi yang dipersiapkan
sebelumnya untuk digunakan sebagai tanda agar orangtuanya mengetahui kemana dia
akan pergi.
Sebagaimana biasa, sore itu Ompu Raja Natumandi dan istrinya pulang dari lading
tidak menemukan putrinya. Mereka coba cari kesekitarnya tetapi juga tidak
ditemukan. Kegelisahan muncul setelah menunggu beberapa lama, lalu mereka pergi
menanyakan kepada seisi kampong barangkali ada yang tau dimana putrid mereka
berada. Mereka kini memastikan bahwa Boru Natumandi hilang dan seluruh
kampungpun ikut bergegas mencarinya.
Akhirnya mereka menemukan tanda-tanda yaitu terlihat butir-butir padi ada
berserakan yang mengarah ke suatu tempat. Mereka menanyakan kepada orang bijak
tentang tanda-tanda padi yang diberikan itu dan si orang bijak mengatakan bahwa
itu adalah pertanda bahwa dia sedang dipersunting oleh seorang pemuda yang
mengajaknya kawin lari. Lalu mereka mengikuti kemana tanda itu mengarahkan
perjalanan mereka. Tidak berapa lama mereka mengikuti butiran beras itu, maka
mereka tiba di sebuah liang yang ada di bawah sebuah pohon beringin dan butiran
beras itu berhenti sampai disitu, namun mereka tidak menemukan siapa-siapa di
liang itu karena hanya berbentuk gua kecil yang tidak dapat diterobos seukuran
manusia sampai kedalamnya. Akhirnya merekapun bubar.
Keesokan harinya, si ibu yang bersedih kehilangan putrinya tetap mencari
putrinya itu ke dalam liang yang ada disitu. Sampai selama seminggu sang ibu
dan bapanya setiap hari berkunjung ke dalam liang dan berharap akan menemukan
putrinya. Pada hari yang ke-7 mereka menemukan sebuah kendi dengan sebuah pesan
yang diketahuinya adalah dari putrinya. Pesan yang ada menyebutkan bahwa kendi
itu adalah sebagai mahar dari Mangunsong karena dia sudah menikah dengan
seorang pemuda bernama Mangunsong. Kemudian pesannya supaya kendi tidak dibuka
sebelum 7 hari, dan kalau tidak ditepati maka jangan berharap dia akan kembali
lagi. Kejadian ini diberitahukan kedua orangtuanya kepada tetua kampung dan
seorang bijak mengatakan bahwa setelah hari ke-7 supaya dipersiapkan kedatangan
Boru Tumandi untuk dibuatkan pestanya.
Kendi itupun dibawa oleh kedua orangtuanya kerumah. Pada hari pertama, kedua
orang tua masih mampu untuk mengingat janji. Hari kedua berlalu, hari ketiga…
dan semakin hari semakin besar kerinduan orang tua untuk bertemu dengan
putrinya dan keinginan membuka kendipun semakin besar. Sampai pada hari keenam
mereka tidak mampu lagi untuk menahan keinginan untuk membuka kendi tersebut,
lalu mereka sepakat untuk membukanya. Sebenarnya Ompu Raja Tumandi masih
melarang istrinya untuk tidak membukanya, tetapi istrinya memaksakan supaya
dibukakan saja.
Sewaktu kendi dibuka maka merekapun terkejut karena yang ada dalam kendi penuh
dengan batangan emas. Namun batangan emas itu kemudian berubah perlahan-lahan
menjadi rimpang kunyit. Maka tersadarlah kedua orang tua itu bahwa mereka sudah
melanggar janjinya. Dan merekapun menangis sejadi-jadinya. Kemudian merekapun
merasa takut hal ini diketahui oleh tetua kampong karena pesta penyambutan
sudah harus dipersiapkan.
Kemudian satu per satu sanak saudara menanyakan kapan pesta penyambutan akan
dilaksanakan, akan tetapi kedua orangtua diam saja sambil menundukkan kepala
mereka bila berpapasan dengan orang sekitarnya. Sang ibu pun setiap pagi
berkunjung ke liang dimana dia menemukan kendinya. Selang tujuh hari kemudian,
sewaktu sang ibu berkunjung lagi pagi harinya, dia mencium bau harum bunga di
sekitar liang dan melihat ada sepasang ular besar sedang berdiam di dalam liang
dan terhampar bunga-bungaan beserta beberapa lembar daun sirih dan jeruk purut.
Lalu kedua ular seolah bicara dan dimengerti oleh sang ibu bahwa mereka adalah
Mangunsong dan Boru Natumandi yang menjelma menjadi ular dan tak dapat lagi
berubah wujud menjadi manusia.
Mangunsong sebenarnya adalah seorang sakti yang dapat menjelma menjadi seekor
ular, oleh karenanya dia dulunya mampu datang setiap hari menemui Boru Tumandi.
Mangunsong datang dari kampungnya melalui lubang yang terdapat pada liang
tersebut dalam wujud ular dan hanya muat untuk dilewati oleh ular. Setelah
sampai pada liang dia menjelma lagi jadi manusia. Sewaktu mereka kawin lari,
sang pangeran menjelma menjadi ular, lalu dengan suatu janji Boru Tumandi pun
berubah menjadi ular. Untuk dapat jelmaan ular kembali menjadi manusia maka
mereka harus memberi mahar kepada orang tua Boru Tumandi berupa mas-batangan,
dan agar orang tuanya mampu membuat pesta penyambutannya dengan biaya yang dari
emas tersebut.
Oleh karena ada janji yang tidak ditepati maka semua akan menjadi berantakan.
Boru Tumandi tidak dapat lagi berubah menjadi manusi. Inilah sebuah pesan pada
manusia bahwa sebuah janji adalah janji yang harus ditepati. Pada saat sekarang
ini, Liang tersebut telah menjadi lokasi wisata local di kawasan Tarutung.
Banyak orang percaya bahwa dengan Boru Tumandi dapat memberikan berkah kepada
orang yang berat jodoh. Biasanya penduduk yang tinggal dekat dengan liang Boru
Tumandi mengarahkan orang yang mau bernazar dengan menyediakan daun sirih dan
jeruk purut dan telur sebagai media permintaan. Sungai yang mengalir disekitar
kampong itu disebut dengan nama Aek Situmandi. Liang Boru Natumandi sekarang
terletak di sebuah kampong yang bernama Desa Hutabarat Banjar Nauli.