Sikap Dalam Mencari Jodoh

Seorang teman baik bilang ke saya, "Sekarang susah dapetin cowok. Gue perhatiin kualitasnya pada turun semua...". Lalu di lain waktu teman saya yang lain bilang, "Cewek cantik ada di mana-mana, tapi yang baik susah dapetnya".

Mendengar itu, saat itu saya cuma bisa angguk-angguk kepala dan bertanya dalam hati, apa iya sampai sebegitunya?

Mencari jodoh memang acapkali tidak semudah yang dikira ataupun yang dikata orang. Tapi rasanya tidak juga sesulit yang dibayangkan. Karena dari apa yang saya amati dan alami, mudah tidaknya kita mendapatkan jodoh ternyata banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan kita sendiri.

Satu hal yang acapkali diacuhkan oleh para lajang adalah mereka memiliki kecenderungan untuk menyalahkan kelajangannya kepada situasi. Sehingga pada akhirnya membentuk sebuah persepsi bahwa untuk bisa mendapatkan jodoh, maka dunialah yang harus berubah untuk mereka. Bukan sebaliknya.

Contoh mudahnya seperti ini:
  • Tidak mencari jodoh karena mendahulukan karir; Kalau sudah mapan, barulah cari-cari.
  • Belum ketemu jodoh karena tidak ada yang sesuai; Andaikan ada yang seperti ini dan itu, pasti diusahakan.
  • Memilih melajang karena takut disakiti lagi; Kalau ada yang bisa setia, barulah dipertimbangkan.
  • Tidak buru-buru, toh saudara yang lebih tua juga belum; Tunggu kakak menikah dulu, baru deh mikir ke yang lebih serius.
  • Jodoh di tangan Tuhan, nanti juga datang sendiri; Tidak perlu nyari, kalau jodoh tidak akan kemana.
Dunia tetap akan berubah. Tapi apakah perubahan tersebut akan membawa seorang lajang lebih dekat kepada jodohnya, maka hal tersebut akan sangat bergantung pada sikap mereka dalam menghadapi perubahan itu sendiri.

Apa mungkin jodoh akan datang apabila yang diprioritaskan selalu karir dan uang? Apa mungkin jodoh akan datang kalau harus memenuhi semua persyaratan? Apa mungkin jodoh akan datang kalau masih saja takut disakiti tapi tidak mau melakukan penjajakan? Apa mungkin jodoh akan datang kalau harus antre dulu berdasarkan urutan kelahiran? Apa mungkin jodoh akan datang tanpa usaha dan hanya mengandalkan keyakinan?

Seorang lajang tentunya tidak bisa mengharapkan semua itu bisa terwujud tanpa ada peran aktif dari dirinya. Sehingga mau-tidak-mau, dia harus merubah cara dia menyikapi hidup dan tidak lagi menaruh harapan semu pada dunia di sekelilingnya.

Sikap apa sajakah yang bisa dilakukan seorang lajang untuk lebih bisa mendekatkan dia pada jodohnya? Berdasarkan pengalaman, maka ada tiga hal yang bisa dilakukan:

1. Mau Beradaptasi Dengan Perubahan Gaya Hidup

Salah satu faktor penghambat dalam mendapatkan jodoh adalah keengganan/ketakutan kita terhadap perubahan gaya hidup.

Kita mungkin sudah nyaman dengan gaya hidup yang sekarang, sehingga kita menutup mata dengan gaya hidup model lain. Akibatnya, kita mengambil sikap keukeuh (tidak mau bergeming) dan menjadikan gaya hidup yang sekarang sebagai persyaratan dalam berjodoh.

Walau mungkin gaya hidup yang sekarang adalah ideal untuk kita, tapi hal tersebut belum tentu cocok untuk diterapkan dalam hidup berpasangan. Untuk itu, kita perlu lebih fleksibel terhadap perubahan gaya hidup.

Kalau saya boleh analogikan dengan makanan akan seperti ini: kita begitu nyaman dengan salad, tapi calon pasangan justru lebih memilih ketoprak. Jika kita tetap memilih salad sebagai gaya hidup dan dirinya memilih ketoprak, maka akan sulit untuk bertemu.

Jalan satu-satunya untuk bisa mendekatkan dia dengan kita adalah masing-masing mau beradaptasi dengan perubahan gaya hidup. Kita mau belajar menyukai ketoprak dan dia mau makan salad dalam menu hariannya. Atau mungkin mencari satu makanan baru yang bisa mengakomodir keduanya, gado-gado misalnya he..he..he..

Nah, dengan adanya keinginan untuk beradaptasi dengan perubahan gaya hidup, maka kita akan memperluas wawasan dan sekaligus meningkatkan peluang untuk mendapatkan jodoh.

Karena bisa saja stok orang lajang di gaya hidup yang kita mau sebenarnya sudah semakin sulit didapat. Sehingga mau-tidak-mau, kita harus memikirkan alternatif lain agar bisa tetap laku di pasaran.

Jika seorang lajang adalah laki-laki, mungkin dia mau memikirkan kembali standar kecantikan dan keindahan yang harus ada pada seorang wanita. Sedangkan jika dia perempuan, maka mungkin dirinya mau mempertimbangkan persyaratan materi dan finansial yang harus dimiliki oleh seorang pria.

2. Mau Mengambil Resiko

Setiap hari kita mengambil resiko dan dengan itulah kita jadi punya harapan.

Kita pergi ke kantor dengan mengambil resiko macet, kecelakaan, atau bahkan kematian. Tapi karena kita mengambil resiko-resiko tersebut, kita jadinya punya harapan untuk bisa melanjutkan hidup. Bisa membeli barang, mencicil kredit, bayar tagihan, dan membantu sesama.

Begitupula dengan mencari jodoh. Resiko kecewa, ditolak, sakit hati, biaya besar, bahkan dikhianati, adalah resiko-resiko yang acapkali tak terpisahkan dalam dunia perjodohan.

Namun demikian, dengan mengambil resiko-resiko tadi, itu semua akan membawa kita pada sebuah harapan untuk bisa mendapatkan pasangan, berkeluarga, dan hidup bahagia.

Yang perlu diingat di sini, mengambil resiko bukan berarti tanpa perhitungan.

Kita tetap perlu memperhitungkan kemungkinan-kemungkinannya secara proporsional. Dengan begitu, kita tetap punya kewaspadaan dan meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan.

Jadi, jangan takut untuk melangkah, mencari, dan promosi. Tak perlu lagi pusing dengan masa lalu yang tak akan pernah kembali.

Wujudkanlah harapan untuk bisa hidup bahagia dengan orang yang kita cintai.

3. Mau Mengambil Tanggung Jawab

Sikap ketiga yang bisa mendekatkan kita dalam usaha mendapatkan jodoh adalah mau mengambil tanggung jawab.

Tanggung jawab di sini adalah mau memainkan peran dan menanggung beban sebagai pasangan.

Jika seorang lajang adalah laki-laki, maka dia haruslah mau memainkan peran sebagai seorang suami yang bertanggung jawab untuk melindungi dan menghidupi keluarganya. Jika, perempuan, maka dia haruslah mau memainkan peran sebagai isteri yang bisa menjaga anak dan harta suaminya.

Ucapan teman saya yang mengklaim bahkan laki-laki makin turun kualitasnya, saya rasa berawal dari banyaknya laki-laki yang enggan bahkan tidak mau bertanggung jawab untuk mengambil dan memainkan perannya sebagai seorang kepala keluarga.

Sungguh disayangkan memang, tapi ini adalah kenyataan yang harus dihadapi.

Sedangkan bagi yang perempuan, keengganan untuk mengambil tanggung jawab dapat berupa penolakannya untuk mengurus anak dan mengandalkan baby-sitter untuk membesarkan sang buah hati. Baginya, dengan menikah dan punya anak bukan berarti gaya hidup lajang harus ditinggalkan. Sungguh sayang dengan pandangan yang demikian.

Singkat kata, jika kita ingin mendapatkan jodoh, maka kita harus siap dengan tanggung jawab sebagai seorang pasangan yang perlahan-lahan meninggalkan gaya hidup seorang lajang. Baik itu laki-laki ataupun perempuan.

Jika kita menolak tanggung jawab tersebut, maka itu hanya akan mempersulit diri kita untuk mendapatkan pasangan. Ujung-ujungnya hanya akan memperpanjang hidup kita sebagai orang lajang.


Ingat, pada tingkat tertentu, jodoh merupakan pilihan sekaligus hasil usaha.

***
Mencari jodoh memang acapkali tidak semudah yang dikira ataupun yang dikata orang. Tapi rasanya tidak juga sesulit yang dibayangkan.

Seorang lajang tentunya tidak bisa mengharapkan bisa mendapatkan jodoh tanpa ada partisipasi aktif untuk merubah keadaan. Akan sulit baginya jika terus menuntut dan berharap agar dunia bisa berubah sesuai dengan keinginannya.
Sikap hidup yang adaptif, mau mencoba, dan mau bertanggung jawab sebagai seorang pasangan, merupakan tiga sikap yang setidaknya akan membuka peluang baru bagi seorang lajang untuk bisa mendekatkan pada jodohnya.

Jodoh memang di tangan Tuhan. Tapi seberapa cepat jodoh itu datang, sedikit banyak akan ditentukan sendiri oleh pilihan dan usaha lajang yang bersangkutan.

1 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama